Posts Tagged With: Blaze Flamberge

 
 

Episode 01: Gadis dari Akademi Javaka (PART 04)

Terdengar bunyi yang cukup keras dari sebuah jam dinding menandakan bahwa pada saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Jam dinding tersebut berada di salah satu sudut ruangan seukuran 10 x 15 meter dengan dominasi warna putih pada bagian dinding dan langit-langitnya sementara lantai marmernya berwarna biru muda. Terlihat beberapa logo Akademi Terrestria di tiap tiang penyangga ruangan. Ada dua koridor yang terletak saling berseberangan dimana tampaknya ruangan itulah yang menjadi penghubung antara kedua koridor itu, koridor pertama memiliki panjang ruangan yang lebih pendek dari koridor satunya serta pada bagian ujung jalan koridor pendek tersebut terdapat pintu ganda dengan lambang Akademi Terrestria di bagian tengah pintu dan pintu tersebut terbuat dari kayu penuh dengan ukir-ukiran. Sementara itu pada koridor yang lebih panjang juga terdapat pintu yang mana pintu tersebut merupakan pintu sebuah elevator yang menghubungkan lantai itu dengan 3 lantai dibawahnya. Saat itu di dalam ruangan tersebut terlihat sangat lengang karena hanya ada satu orang gadis yang sedang duduk di bangku panjang berwarna hitam.

 

Terdengar suara pintu elevator terbuka kemudian disusul suara langkah kaki dan suara percakapan antara dua orang menggema di sepanjang koridor itu.

 

“Pokoknya kamu yang tanggung jawab ya Ray, soal kegagalan kita menemukan gadis itu!!”

 

“Lha.. kok malah aku?”

“Bukannya kamu penyebab utama kita nggak berhasil menemukan gadis itu?”

“Seandainya saja kamu nggak mengajakku bermain Zeph Card pasti kejadiannya nggak akan seperti ini. Che”

 

“Ray, Kamu kan bisa menolak tantanganku dan memaksaku untuk langsung pergi ke dermaga,”.

 

“Dengar ya Crimson Fire Eye….Aku nggak yakin kamu akan langsung menerima ajakanku untuk mencari gadis itu. Aku tahu pasti, kamu itu pengennya bermain-main dulu sebelum melaksanakan tugas. Kalau sudah begitu kamu pasti melakukan apapun agar keinginanmu tercapai,”.

 

“Oh ya? Memangnya aku tadi terlihat memaksamu untuk melayani tantanganku untuk bermain Zeph Card, ya, Ray?”.

 

“Er.. enggak juga sih..Che, tapi teman-teman cewekmu itu yang membuatku terpaksa menerima tantanganmu!!”

 

“Yang penting kan bukan aku yang memaksamu Ray. Salah sendiri kenapa kau mau menuruti rajukan mereka,”

“Lagipula Ray, coba kalau kau tidak ceroboh dan mau mendengarkan petunjuk dari Ibu Reva sampai selesai, pasti kita bisa membawa gadis itu ke sini. Soalnya kamu duluan yang bertemu dengan dia!!”.

 

“Tapi.. tetap saja Che.. seandainya kita nggak main kartu pasti kita sudah bisa bertemu gadis itu di dermaga tepat waktu. Ditambah lagi gara-gara kamu juga, pake acara gak nggak bawa uang segala.. jadinya aku harus membayar untuk sesuatu yang sama sekali nggak aku makan,”.

 

“Pokoknya kamu yang salah Ray!!”.

 

“Masih ngotot saja nih, kan kamulah penyebab semua ini Che!!”.

 

“Oh tidak bisa, apapun itu kamu yang salah Ray!!”.

 

Ternyata suara itu adalah suara Ray dan Crimson yang terus berdebat sambil berjalan menyusuri koridor dan tiba di ruangan berukuran 10 x 15 meter tersebut. Mendengar perdebatan antara kedua orang itu, tampaknya telah menarik perhatian dari gadis berambut panjang yang sejak tadi terus saja duduk di bangku panjang. gadis itu berdiri kemudian berjalan mendekati Ray dan Crimson.

 

“Maaf, kenapa kalian berdebat?” tanya gadis itu sambil berdiri di depan Ray dan Crimson, namun saat itu Ray dan Crimson belum memperhatikan siapa gadis yang menyapa mereka.

 

“Oh, kami hanya berdebat soal gadis yang bernama Desy Devaheart yang harusnya kami jemput di dermaga siang tadi.” jawab Ray dan Crimson secara hampir bersamaan.

 

“Oh jadi, kalian berdua yang seharusnya datang ke dermaga dan menjemputku??” tanya gadis itu kepada Ray dan Crimson.

 

Mendengar perkataan gadis itu, Ray dan Crimson seketika menghentikan perdebatan mereka dan melihat ke arah gadis itu.

 

“DESY!!!!!???” pekik Ray dan Crimson dengan ekspresi luar biasa terkejut secara bersamaan saat mereka mengenali wajah gadis yang ada di depan mata mereka.

 

“Iya… namaku Desy Devaheart.. orang yang harusnya kalian jemput di dermaga siang tadi,” jawab Desy sambil sedikit tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Ray dan Crimson.

 

Mendengar perkataan Desy, baik Ray dan Crimson secara bersamaan menepuk dahi mereka masing-masing dengan telapak tangan kanan mereka, ”Oh tidakk!!”.

 

“Sekarang harus bagaimana, pasti Ibu Reva sudah siap menghukum kita berdua,” ujar Ray sambil menghela nafasnya.

 

”BAH!! Terserah Ibu Reva mau menghukum kita kayak apa.. aku gak peduli lagi. Bertemu dengan gadis secantik ini sudah mendamaikan hatiku di hari yang cerah ceria ini,”

tiba-tiba saja Crimson sudah maju ke hadapan Desy dan mulai mengulurkan tangan kanannya untuk memperkenalkan dirinya.

 

“Perkenalkan nona Desy, namaku….C.. AAARRRGGHHH!!”

Ray tiba-tiba saja menginjak kaki kiri Crimson sehingga membuat Crimson melompat-lompat kesakitan.

 

“AWWW… aww aww…awww…!!!! RAY!!! APA-APAAN KAU INI” Crimson menjadi sangat geram karena perbuatan Ray barusan.

 

“Rasakan itu Che!! Hari ini aku benar-benar kesal padamu!!” Ray bersungut-sungut sambil menunjukkan ekspresi wajah kesalnya.

 

Lalu Ray maju ke hadapan Desy dan mulai mengulurkan tangan kanannya dan berkata,

“Maaf De.. desy.. aku tadi tidak tahu kalau ternyata kamulah orang yang harusnya aku…Uwaggh!!!”.

 

Ray berteriak kesakitan setelah Crimson menyapu kaki Ray dan membuat tubuh Ray oleng dan jatuh.

 

“Cih.. kamu tiba-tiba jadi agresif gini Ray.. kayak bukan kamu yang biasanya…” Crimson duduk jongkok sambil menepuk-nepuk punggung Ray.

 

Ray berusaha bangkit dari posisi jatuhnya lalu berdiri dengan kedua kakinya.

 

“Itu karena kau sudah melakukan banyak hal yang membuatku merasa sangat kesal hari ini,”

“Pertama, kau membuatku harus menerima tembakan-tembakan peluru cat tepat di wajahku,”

“Kedua, kau memaksaku untuk bermain zeph card dan menimpakan kesalahan padaku,”

“Dan ketiga, kau sudah menghabiskan uang yang aku kumpulkan dengan susah payah hanya untuk membayari makanan yang kamu makan bersama-sama temanmu!!” seru Ray dengan penuh emosi.

 

“Jadi kau marah sama semua itu Ray?? Ya maaf deh… “ Crimson cuma bisa meringis sambil sedikit menjulurkan lidahnya.

 

“Tidak bisa!! Bagaimanapun juga kau harus merasakan akibat perbuatanmu!!” Ray terlihat masih geram.

 

“Okay, memangnya apa yang akan kau lakukan Ray??” Crimson berkecak pinggang menatap sinis seakan hendak menantang Ray.

 

“Kali ini, biar aku yang lebih dulu berkenalan dengan Desy,” Ray menyikut perut Crimson dengan sikutnya kemudian maju lagi sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Desy.”

 

“APA!!!??? TIDAK BISA !!! Kau boleh mengambil honor misi level S ku atau menerima amukan dari Ibu Reva, Tapi aku gak akan menerima kalau harus mengalah UNTUK URUSAN SEPERTI INI!!!”

Crimson buru-buru maju dan ikut-ikutan mengulurkan tangan kanannya kepada Desy.

 

“Waduh.. kalian kok bertengkar lagi?? Hihihihi,” Desy cuma bisa tertawa melihat tingkah Ray dan Crimson.

 

“Sekali-kali coba mengalah dong Che, masa’ kamu terus yang dapat kesempatan pertama kenalan dengan cewek??” protes Ray.

 

“HAH?? Apa aku nggak salah dengar nih? KAMU?? RAY WARFIELD yang suka minder kalau ketemu orang dan malu kalau harus berhadapan dengan cewek??”

“Kamu kesurupan apa sih Ray, sampai bisa segagah ini??” sindir Crimson sambil memicingkan matanya ke arah Ray.

 

“Terserah apa katamu Che.. pokoknya aku dulu yang akan berkenalan dengan Desy!!” kata Ray.

 

“APA…!!??” pekik Crimson seakan tidak rela dengan perkataan Ray.

 

Terlihat Ray dan Crimson mulai berebutan untuk berkenalan dengan Desy, mereka saling sikut-menyikut dan berusaha menginjak kaki lawannya sambil terus menjulurkan tangan kanan mereka ke arah Desy. Melihat tingkah aneh mereka, Desy hanya bisa bengong karena kebingungan.

 

“Maaf, aku bingung kenapa kalian sampai bertengkar seperti itu, tapi aku rasa aku punya cara untuk menghentikan perselisihan kalian,” ujar Desy yang bergerak maju satu langkah dan menepuk pundak Ray dan Crimson sambil tersenyum.

 

“EH??!!” seru Ray dan Crimson secara bersamaan melihat ke arah Desy yang baru saja menepuk bahu mereka.

 

“Nah, Kamu cowok rambut merah, kamu berdiri di situ dan kamu cowok rambut pirang, kamu berdiri di situ,” Desy menyuruh Ray dan Crimson untuk berdiri bersebelahan namun masih ada jarak diantara mereka sekitar setengah meter.\

 

Ray dan Crimson menuruti perkataan Desy sambil saling memandang karena tidak mengerti dengan maksud dari perintah Desy.

 

Desy kemudian berdiri di antara Ray dan Crimson, dimana saat itu Crimson berada di sisi kanan Desy dan Ray berada di sisi kiri Desy. Desy kemudian menyilangkan lengannya dan mengulurkan kedua tangannya kepada kedua laki-laki itu.

“Nah… sekarang mari kita berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri,”

“Namaku Desy.. Desy Devaheart.. panggil saja aku dengan nama Desy,”

“Oh ya, tolong sebutkan nama kalian secara bersamaan ya?”.


Ray dan Crimson jadi bingung sekaligus takjub melihat cara Desy memperkenalkan dirinya kepada mereka berdua. Walaupun sempat terdiam beberapa saat, Ray akhirnya menjabat tangan kanan Desy sementara Crimson menjabat tangan kiri Desy.

 

“Namaku Ray Warfield,”

“Namaku Crimson Fire Eye,”

 

Ray dan Crimson mengucapkan nama mereka secara bersamaan sehingga membuat Desy tertawa sendiri.

“Hihihi.. kalian memang kompak ya..”

“Okay, jadi kamu.. Ray Warfield, Benar kan?” Desy melirik Ray dengan tatapan mata innocentnya sambil tersenyum kecil.

 

“Ah.. be.. benar… panggil saja aku Ray… “ Ray jadi sangat gugup dan berkeringat dingin saat Desy melihatnya langsung ke arahnya.

 

“Hahaha… jangan grogi gitu Ray.. kita kan cuma saling memperkenalkan diri,”

“Oh ya.. kalau begitu, kamu pasti Crimson Fire Eye.. benar kan?” kali ini Desy melirik ke arah Crimson.

 

Crimson memandang balik Desy sambil berkata, “Benar sekali nona, Aku Crimson Fire Eye..”

“Resminya sih aku sering dipanggil Crimson oleh orang-orang akan tetapi aku juga punya nama lain juga,”

“Seperti para fansku yang memanggilku dengan nama Crimsey…. kadang juga Kurai-kun”

“Para Rivalku memanggilku dengan nama Fire…”

“Sementara sahabat-sahabatku memanggilku dengan nama Che..”

“Sedangkan Masterku memanggilku dengan nama Kid,”

 

“Wah, kok banyak sekali ya nama panggilan kamu? Aku jadi bingung nih, aku harus memanggilmu dengan nama apa?” Desy tersenyum manis saat mendengar banyaknya nama panggilan yang disebutkan oleh Crimson.

 

“Untukmu.. panggil aku, Che  saja sudah cukup kok…” Crimson tersenyum dengan gaya ‘Cool’ nya.

 

“Wah.. dipanggil Che ya? Berarti aku langsung jadi sahabatmu? Kita kan baru bertemu, apa nggak apa-apa?” tanya Desy.

 

“Nggak apa-apa dong. Aku sungguh berharap kita bisa menjadi sahabat sejati mulai detik ini,” lagi-lagi Crimson tersenyum dengan ’Cool’ nya.

 

“Wah.. kalau begitu… senang bertemu denganmu, Che,” Desy membalas senyuman ’Cool’ Crimson dengan senyuman manisnya, saat itu terlihat Crimson sedikit kemerahan mukanya saat melihat wajah Desy.

 

“Hah? Che bisa tersipu.. jarang banget aku melihat ekspresi semacam itu saat dia sedang berkenalan dengan seorang wanita,” pikir Ray dalam hatinya saat melihat Crimson yang berbicara dengan Desy.

 

Tanpa mereka sadari, di ruangan seluas 10 x 15 meter itu datang dua orang yang baru saja keluar dari koridor pendek yang merupakan koridor menuju ruang Kepala Sekolah Grade S.

 

“Ehem.. kalian sudah puaskah saling berkenalan dengan siswi baru yang sudah kalian telantarkan itu?” sindir salah satu dari dua orang itu yang ternyata orang itu adalah Ibu Reva.

 

Crimson dan Ray melepas jabat tangan mereka dengan Desy dan menoleh ke arah sumber suara itu.

 

“Eh.. Ibu Reva…. Master Blaze??” Crimson akhirnya mengenali kedua orang itu yang baru saja datang ke ruangan itu.

 

“Hai Kid.. aku dengar kau sudah cukup buat Ibu Reva pusing ya hari ini,” sapa Tuan Blaze sambil tertawa.

 

“Ah.. nggak sampai segitunya kok master… Aku dan Ray kan memang expert kalau urusan datang terlambat apel hahahahahahaa!!!” jawab Crimson yang ikut tertawa.

 

“Eh.. kok bawa-bawa nama aku sih Che..??” protes Ray pada Crimson, sementara Crimson cuma tertawa terbahak-bahak.

 

“Yeah… yeah.. aku tahu, kalian berdua memang dua sejoli yang gak terpisahkan,” Tuan Blaze lagi-lagi tertawa kecil sambil berkecak pinggang.

 

“HAH??!!” mata Crimson dan Ray terbelalak lebar dan mereka sama-sama menyeringai ngeri saat mendengar perkataan dari Tuan Blaze.

 

“Ngomong-ngomong, seharusnya kalian dihukum lho atas kelalaian kalian.. benar kan Ibu Reva?” Tuan Blaze melirik Ibu Reva yang sedang membelai rambutnya dengan jari-jari tangan kanannya.

 

“Benar juga, seharusnya aku menghukum kalian lagi karena tidak menjemput Desy tepat waktu dan satu hal lagi.. kalian tidak mengaktifkan cellphone kalian sehingga aku kesulitan menghubungi kalian,”

“Tidak membawa alat komunikasi itu termasuk pelanggaran tingkat C lho.. hukumannya lumayanlah buat kalian,” Ibu Reva tersenyum kecil sambil melihat ke arah Crimson dan Ray.

 

“Waduh… maafkan kami bu.. jangan hukum kami bu… sudah cukup hukuman siang tadi,” sahut Ray dengan nada memelas.

 

“Ya sudahlah, siapa juga yang akan menghukum kalian. Aku sudah cukup puas melihat kalian jungkir balik tadi siang,” Ibu Reva menunjukkan ekspresi santai dan matanya tidak terlihat garang, sementara itu Ray dan Crimson terlihat bernafas dengan lega.

 

“Sekarang kalian temani Tuan Blaze untuk mengantarkan dokumen ini ke Terrestria Squad Headquarter,” kata Ibu Reva sambil menyerahkan amplop dokumen berukuran sebesar kertas F4 kepada Crimson.

 

Crimson menerima dokumen itu dan berkata, “Kok, rasanya kami terus yang disuruh oleh Ibu Reva untuk keliling kesana kemari, apa di akademi ini muridnya cuma kami saja ya?”

 

“Tentu saja.. kalian kan tokoh utama di game RPG ini,” jawab Ibu Reva kepada Ray dan Crimson.

 

“HAH??” Ray dan Crimson sama-sama terkejut dan kebingungan dengan perkataan Ibu Reva.

 

“Aku cuma bercanda kok, sudah cepat antar dokumen itu.”

“Atau kalian lebih suka aku hukum lagi?” Ibu Reva membuka matanya dan menatap tajam Crimson dan Ray dari balik bingkai kacamatanya.

“Uwaaaa..!!! Ba… baik bu.. kami segera pergi…!! Ayo Ray.. Mari Master Blaze..” Crimson terlihat sangat ketakutan dan segera mengajak Ray dan Blaze untuk pergi mengantarkan dokumen.

 

Melihat tingkah Crimson dan Ray saat beragumentasi dengan Ibu Reva membuat Desy berpikir,

“Wah.. Ibu Reva ternyata orangnya tegas sekali… Crimson yang kelihatannya sangat flamboyan itu bisa dibuat gentar oleh Ibu Reva. Jadi ingat sama Bulik ku sendiri nih,”.

 

Sepeninggal Ray, Crimson dan Tuan Blaze, Ibu Reva memanggil Desy yang masih takjub dengan apa yang dia lihat tadi.

 

“Ayo Desy, Kepala sekolah sudah menunggu,” ajak Ibu Reva kepada Desy.

Mereka berdua kemudian menyusuri koridor dan masuk ke ruang kepala sekolah.

 

“Ah.. Desy.. Mari silahkan duduk,” sambut seorang pria tambun berumur sekitar 40 tahunan yang sedang memegang buku dan berdiri di dekat rak buku besar. Pria itu kemudian menaruh buku yang dia pegang kembali ke rak buku di dekatnya setelah melihat Desy duduk di sofa. Terlihat Ibu Reva juga ikut duduk di sofa yang posisinya berhadap-hadapan dengan Desy.

Pria tambun berambut pendek dengan tinggi sekitar 167 cm itu kemudian duduk di kursi sofa di dekat Desy duduk.

 

“Wah.. wah.. sudah hampir enam tahun ya kita tidak bertemu,”

“Ternyata kau sudah secantik ini Desy,”

“Tampaknya Bibimu Leyra merawatmu dengan baik sekali,” kata pria tambun itu.

 

“Pakdhe Rudolf juga kelihatannya makin sehat saja,” balas Desy sambil tersenyum manis.

 

“Hahaha bisa saja kau ini Desy. Memang sih akhir-akhir ini beratku memang agak naik sekitar sepuluh kilo. Tapi sepertinya masih belum segendut itu kok,”

“Oh ya, bagaimana kabar Bibi Leyra? Dia sehat saja kan?” lanjut Tuan Rudolf.

 

“Bulik baik-baik saja kok Pakdhe.. hanya akhir-akhir ini urusan akademi Javaka cukup menyita waktunya. Namun sejauh ini Bulik  masih bisa mengatasinya,” jawab Desy.

 

“Oh begitu? Yeah baguslah.. semoga bibimu Leyra nggak lupa untuk istirahat yang cukup. Dia memang suka lupa waktu kalau sudah berhadapan dengan masalah pekerjaan,”

“Seperti anda Ibu Reva,” tunjuk Tuan Rudolf kepada Ibu Reva.

 

“Ah benarkah? Kalau begitu saya harus lebih banyak mengkonsumsi coklat agar bisa lebih relaks” jawab Ibu Reva yang sedikit terkejut saat melihat Kepala Sekolah tiba-tiba menunjuknya.

 

Sesaat kemudian Tuan Rudolf, Desy dan Ibu Reva sama-sama tertawa.

 

“Yah.. kalau begitu aku ucapkan selamat datang di akademi Terrestria ini Desy. Semoga kau bisa belajar di sini dengan baik dan menyelesaikan studimu sebagai Gun Sorceress dengan hasil yang terbaik,” kata Tuan Rudolf.

 

“Terima kasih Pakdhe,”

“Saya pasti akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak mengecewakan Pakdhe,” jawab Desy dengan senyum manisnya.

 

“Kalau begitu Ibu Reva, tolong urus proses administrasi untuk Desy dan fitting baju di

boutique. Dan tunjukkan dormitory yang akan dia tempati,” perintah Tuan Rudolf kepada Ibu Reva

 

“Baik Pak Kepala Sekolah,” jawab Ibu Reva kemudian dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati pintu ganda.

 

Desy kemudian juga ikut bangkit dari sofa tempatnya duduk sambil berkata, “Kalau begitu, saya mohon diri dulu Pakdhe,”.

Di lain pihak, di salah satu ruangan kantor di Terrestria Squad Head Quarter. Terlihat Ray, Crimson dan Rifle sedang duduk di satu meja. Saat itu Crimson dan Rifle terlihat sedang serius dengan pertandingan Zeph Card mereka, sementara Ray memperhatikan permainan mereka berdua.

 

“Hey… Fire… kenapa sih kamu nggak pulang saja ke rumah.. malah menggangguku yang lagi kerja ini?” tanya Rifle kepada Crimson.

 

“Apa yang seperti ini kau bilang bekerja? Sejak tadi main kartu terus gitu,” jawab Crimson seenaknya.

 

“Bukannya kamu yang mengajak aku main kartu.. gimana sih??” Rifle jadi kesal mendengar jawaban Crimson.

 

“Yeah.. aku kan mengajakmu main kartu supaya kamu nggak nganggur dan ngabisin listrik akademi dengan main game First Person Shooter kesukaanmu itu,” Crimson menyeringai sambil menatap Rifle dengan tajam.

 

“SIAL..!!! itu namanya melatih koordinasi otak dan tangan agar lebih baik saat dalam pertempuran sebenarnya!!” Rifle terlihat semakin kesal ketika disindir kebiasaan main gamenya oleh Crimson.

 

“Halah.. Alasan.. bilang saja kamu penasaran karena gak bisa namatin level ini level itu… iya kan,” tatapan sinis Crimson tampaknya membuat Rifle bersungut-sungut kesal.

 

“Ah.. ganti topik pembicaraan saja. ngomong sama kamu nggak pernah asyik, Rifle!!” ejek Crimson

“Ray, menurutmu bagaimana pendapatmu tentang dia?” tanya Crimson kepada Ray.

 

“Dia? Dia siapa maksudmu Che?” Ray bertanya balik pada Crimson.

 

“Jiah.. ini lagi.. pasti habis ngelamun,”

“Tentu saja yang aku maksud ya, si Desy itu..” jawab Crimson.

 

“Oh.. maksudmu siswi dari Akademi Javaka itu ya Che?” Ray akhirnya paham dengan maksud pembicaraan Crimson.

 

“Siapa sih yang kalian bicarakan?” Rifle tampak penasaran dengan perkataan Ray.

 

“Oh.. kami sedang membicarakan siswi pindahan dari Akademi Javaka. Tampaknya dia akan berada di sini selama satu atau dua tahun untuk menyelesaikan studinya sebagai Gun Sorceress,” jawab Ray atas pertanyaan Rifle.

 

“Wah aku jadi penasaran nih, seperti apa wajah gadis itu??” Rifle tampak sangat antusias.

 

“Che tunjukkan fotonya ke Rifle, dong!!” pinta Ray pada Crimson.

 

“Cih.. enak saja.. foto itu khusus buat aku, gak akan aku tunjukkan pada siapapun terutama kau Rifle,” Crimson menyeringai lebar menggoda Rifle.

 

“Grrr.. awas kau ya!!!” Rifle tampak geram saat melihat tingkah Crimson.

“Ya sudahlah.. nanti aku juga pasti tahu seperti apa gadis yang bernama Desy itu,” lanjut Rifle yang berusaha meredam emosinya.

 

“Baguslah kalau begitu, Nah.. Ray.. ayo, aku penasaran nih seperti apa sih pendapatmu soal gadis itu?” Crimson mengingatkan Ray atas pertanyaannya tadi.

 

“Kalau menurutku sih, sepertinya Desy itu gadis yang ramah dan yang menyenangkan untuk diajak bicara. Sepertinya akan sangat menyenangkan sekali kalau kita bisa berteman dengannya,” jawab Ray.

 

“Ray, kira-kira menurutmu, misalnya aku jadikan dia pacarku, bisa bertahan lama nggak ya?” kata Crimson.

 

“Entahlah Che, Kamu kan orangnya mudah banget tertarik ama cewek cantik, apalagi saat pertama bertemu. Dan lagi kamu itu orangnya mudah bosan makanya suka ganti-ganti pacar,” sindir Ray.

 

“Percaya deh Ray, mungkin kalau sama Desy, aku nggak bakal bosan kok,” jawab Crimson sambil sedikit menjulurkan lidahnya.

 

“Halah.. siapa yang akan percaya dengan kata-katamu, paling juga tiga bulan sudah paling lama,” sergah Rifle sambil menatap sinis Crimson.

 

“APA KAU BILANG??” Crimson berteriak kemudian mengeluarkan zeph card andalannya.

“Knight Blade of Ultima Serang Rifle dan kedua kartu strikernya!!!” teriak Crimson tiba-tiba.

 

Suara ledakan dari sound effect permainan Zeph Card terdengar begitu keras mengiringi gerakan dari image hologram dari character Knight Blade of Ultima yang menyerang para striker milik Rifle.

 

“HEH!! APA-APAAN ITU!!?? Berani-beraninya kau curang!! Ini masih giliranku!!”

Rifle marah besar saat sadar ternyata Turn Cardnya dilangkahi oleh Crimson.

 

“Salah sendiri… Itu akibatnya jika menantang Tuan Crimson yang gagah Berani ini, HAHAAHAA!!!!” Crimson menyombongkan dirinya dan membuat Rifle makin marah besar.

 

“GRRRRR!!!!!! UDAH, BUYAR!!!!! BUYAR!!!!!” Rifle langsung mengacak-acak Zeph card Crimson dan melemparkannya ke muka Crimson.

 

“Doh.. yang sudah kalah main kartu 20 kali, sombongnya,” sindir Crimson pada Rifle yang justru membuat Rifle marah besar hingga nampak terlihat aura-aura berwarna kuning dan oranye seperti meluap dan muncul dari tubuhnya sementara wajahnya jadi super jelek seperti wajah seekor monyet.

 

“Hey.. hey.. udah dong Rif… jangan emosi gitu!!” cegah Ray sambil mencoba menepuk pundak Rifle.

 

“HAHAHAHA terlambat Ray, dia sudah mencapai state Monyet Oranye dia,

“Cepat cari pisang sana biar si monyet ini nggak marah-marah lagi… HAHAHAHAHHAHA!!!!” Crimson tertawa puas begitu melihat ekspresi khas Rifle itu, sementara Ray sendiri cuma bisa menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum kecut.

 

 

Di sudut lain dari gakuen City Terrestria Academy, terlihat Ibu Reva dan Desy baru saja keluar dari gedung boutique besar dan berjalan menuruni tangga menuju mobil sedan yang diparkir Ibu Reva di depan boutique tersebut.

Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan dengan segera pergi meninggalkan wilayah Boutique dan mengarahkan mobil kembali ke jalur Highway.

Dalam perjalanan Ibu Reva bertanya kepada Desy mengenai sang Kepala Sekolah Grade S,

“Jadi Tuan Rudolf itu pamanmu?”

 

“Benar Ibu Reva, Pakdhe Rudolf adalah adik dari suami Bulikku yang ada di Javaka,” jawab Desy.

 

“Oh ya, ngomong-ngomong soal akademi Javaka,”

“Karena di Akademi Javaka tidak ada jurusan Gun sorcery maka jika tidak salah kau belajar Gun Sorcery di bawah bimbingan master Erlin…. Ardhana Erlin, apa itu benar?” tanya Ibu Reva kepada Desy.

 

Mendengar nama Ibu Ardhana Erlin disebut oleh Ibu Reva, Desy sempat teringat dengan wajah masternya itu,

“Benar sekali Bu.. Ibu Ardhana Erlinlah yang membimbing saya dalam menguasai Gun Sorcery,” jawab Desy dengan antusias.

 

“Tidak kusangka, ternyata mastermu adalah temanku sendiri,” Ibu Reva terlihat tersenyum kecil sambil melirik kepada Desy.

 

“Jadi Ibu Erlin lulusan dari Akademi Terrestria? Tapi bagaimana Ibu Reva bisa kenal dengan Ibu Erlin?” Desy terlihat penasaran.

 

“Dia sebenarnya angkatan satu tingkat di atasku. Tapi kami bisa saling kenal karena kami tinggal di dormitory yang sama,”

“Dan asal kau tahu saja Desy, kamar dormitory yang akan kau tempati nanti, dulunya merupakan kamar yang pernah ditempati oleh Ibu Erlin,” jelas Ibu Reva.

 

“Wah.. beruntung sekali aku bisa mendapat kamar yang pernah ditempati oleh Master Erlin,”

Desy terlihat sangat senang saat mengetahui hal tersebut.

 

“Yeah, aku juga tidak menyangka bisa terjadi kebetulan sampai seperti ini. Padahal komputer hanya memilihkan kamar yang kosong secara random,”

“Lalu Desy, bagaimana keadaan Ibu Erlin di Akademi Javaka?”

“Semenjak kelulusannya lima tahun yang lalu, aku sudah tidak begitu sering mendengar kabar tentangnya,” Ibu Reva bertanya balik pada Desy.

 

“Sepertinya Ibu Erlin setelah lulus dari Akademi Terrestria langsung melamar ke Akademi Javaka, soalnya beliau sudah bekerja semenjak lima tahun yang lalu di Akademi Javaka,”

“Pada awalnya beliau menjadi instruktur pada jurusan assault sorcery, tapi setelah bekerja kurang lebih 4 tahun, sejak tahun lalu beliau sudah dipercaya menjadi wakil kepala sekolah,”

“Tentunya selama lima tahun itu pula saya belajar gun sorcery di bawah bimbingan Ibu Erlin dengan kurikulum khusus, karena pada dasarnya Gun sorcery memang bukan program pengajaran dari Akademi Javaka,” jelas Desy

 

“Hm.. begitu ya? Kelihatannya dia sangat menikmati pekerjaannya?” Ibu Reva Tersenyum saat mendengar penjelasan Desy.

 

Tiba-tiba dari radio mobil Ibu Reva ada panggilan masuk. Ibu Reva melihat asal sinyal tersebut yang ternyata berasal dari gedung Green Garden,

“Siapapun.. tolong.. jawab panggilanku..!!”.

 

“Di sini Ibu Reva… dengan siapa aku berbicara??” jawab Ibu Reva.

 

“Di sini.. Ma….na  Aquin…ette,” jawab suara dari radio itu.

 

“Manna? Gelombang radiomu tidak jelas dan berisik apa yang sebenarnya terjadi di Gedung Green Garden?” tanya Ibu Reva.

 

“Ada…. kacau… akar…. mulai… hancurk… bagian…. gree… gard……” suara dari radio itu terputus-putus.

 

“Aku tak bisa mendengarmu Manna.. tolong katakan sekali lagi,” Ibu  Reva semakin  penasaran.

 

“Mandraksh….” tiba-tiba suara panggilan radio itu terputus.

 

Ibu Reva mengernyitkan dahinya dan dalam hatinya timbul banyak pertanyaan,

“Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa tiba-tiba terjadi gangguan sinyal?”

“Hanya sesuatu atau seseorang berkekuatan magis tingkat tinggi yang mampu merusak jaringan komunikasi khusus milik Akademi ini,”

“Hmph…. kenapa alarm keamanan sama sekali tidak bereaksi?”.

 

“Ibu Reva, ada apa sebenarnya? Sepertinya panggilan radio tadi sangat gawat,” tanya Desy yang terlihat penasaran setelah turut mendengar suara panggilan radio tersebut.

 

“Memang benar Desy, sebab hal seperti ini jarang sekali terjadi di Akademi,

“Seseorang atau sesuatu dengan tingkat kekuatan magis yang tinggi telah berhasil menyusup ke gakuen city ini dan membuat kekacauan yang bahkan kehadiran pengacau ini mampu membuat alarm anti penyusup milik Terrestria Squad sama sekali tidak bereaksi,”

“Jika ini dibiarkan maka bisa saja keselamatan para penduduk di Gakuen City Akademi ini dalam bahaya besar,” jelas Ibu Reva.

 

“Jadi apa yang harus kita lakukan bu?” tanya Desy kepada Ibu Reva.

 

“Kita langsung pergi ke Green Garden dan sebisa mungkin menolong orang-orang di sana untuk evakuasi dan jika terpaksa mungkin nantinya kita sendirilah yang harus bertarung melawan pengacau itu,” jawab Ibu Reva.

 

Ibu Reva kemudian memanggil seseorang menggunakan radio mobilnya. Setelah menentukan frekuensi, akhirnya image hologram dari seseorang muncul di hadapan Ibu Reva.

“Ibu Reva? Ada Apa?” tanya seseorang yang ada dalam bentuk hologram itu.

 

“Kanna, cepat beritahu komandan, ada gangguan keamanan di area Green Garden. Kemungkinan tingkat level bahayanya adalah level 4,” terang Ibu Reva.

 

“Level 4? Tapi kenapa alarm dan sistem peringatan kami sama sekali tidak bereaksi?” Kanna terlihat sangat kebingungan.

 

“Aku juga tidak tahu akan hal itu Kanna, aku mendapatkan informasi dari Manna namun sayangnya aku tidak mendapat keterangan yang lebih detil karena gangguan jalur komunikasi,” jawab Ibu Reva kepada Kanna.

 

“Baiklah, kalau begitu, akan segera saya laporkan situasinya kepada komandan agar beliau segera membantu anda mengatasi kekacauan yang ada di Green Garden,” jawab Kanna.

 

“Terima kasih Kanna,” sahut Ibu Reva menutup pembicaraannya dengan Kanna.

 

Hubungan hologram itu berakhir dan Ibu Reva menonaktifkan sistem radio mobilnya.

Ibu Reva kemudian menoleh ke arah Desy sambil berkata,

” Persiapkan peralatan tempurmu Desy, sebentar lagi kita akan sampai ke Green Garden dan menolong Manna yang sedang bertempur di sana,”.

 

“Baik Bu!!” jawab Desy dengan tegas.

 

Ibu Reva kemudian memacu mobilnya melewati jalur-jalur highway dan akhirnya mereka berhasil tiba di Kawasan Gedung Green Garden.

 

Mobil Ibu Reva masuk ke halaman depan kawasan gedung berwarna merah marun setinggi 30 meter itu dan berhenti tepat di depan gedung. Gedung itu berbentuk mirip seperti sebuah kumpulan kuncup bunga tulip. Bentuk bangunan mirip kuncup bunga tulip itu sendiri berjajar-jajar dan saling terhubung satu sama lain dimana pada gedung itu terdapat empat kuncup tulip berukuran sedang yang mengelilingi satu gedung berbentuk kuncup tulip raksasa yang berada tepat di tengahnya.

 

Ibu Reva dan Desy keluar dari mobil. Mereka berdua kemudian bergegas menaiki tangga menuju pintu depan gedung Green Garden.

 

Saat memasuki gedung tersebut, Desy merasa takjub dan memutuskan untuk menghentikan langkahnya sebentar hanya untuk melihat rancang bangun interior yang ada pada green house tersebut. Pilar-pilarnya melengkuk mengikuti bentuk eksterior gedung, sementara itu banyak sekali tanam-tanaman yang ditata sedemikian rupa sehingga seakan-akan hampir di setiap sudut ruangan dipenuhi oleh dinding yang terbuat dari jalinan tanaman. Belum lagi saluran air yang saling bersaling silang melintasi ruangan mengikuti pola dan alur dari pavement batu putih yang ada di gedung itu.

“Benar-benar gedung yang megah dan indah!!” Desy terus memperhatikan sambil mengagumi pola Interior dari gedung itu tanpa menyadari kalau Ibu Reva sudah berlari meninggalkannya.

Desy terkejut saat merasakan tiba-tiba saja jantungnya berdetak aneh dan entah kenapa Desy jadi merasa sangat gelisah pada saat itu juga.

“Aaa… perasaan apa ini….??” pikir Desy.

 

Tubuh Desy gemetaran dan menggigil seakan-akan ada sebuah angin dingin yang datang dan melewati tubuhnya.

 

Sedetik kemudian, perasaan gelisah dan ngeri yang dia rasakan menghilang begitu saja.

Desy hanya bisa menoleh ke belakang seakan-akan dia baru saja berpas-pasan dengan sesuatu.

 

“Apa yang terjadi sebenarnya?? Kenapa tadi aku merasa sangat gelisah dan seperti sedang berpas-pasan dengan seseorang?” Desy menatap kosong ke arah pintu masuk yang telah dia lewati.

 

“Desy?? Kenapa kau masih di situ?? Ayo Cepat!!” panggil Ibu Reva dari kejauhan. Saat itu terlihat Ibu Reva hendak memasuki sebuah koridor raksasa penghubung dengan gedung berikutnya yang ada di lantai selanjutnya dari gedung Green Garden itu.

 

Desy menghela nafasnya dan mengeleng-gelengkan kepalanya dan berbisik, “Semoga itu tadi cuma perasaanku saja,”.

Desy kemudian berlari menyusul Ibu Reva yang kini sudah mulai masuk ke koridor raksasa tersebut.

Categories: Main Mission | Tag: , , , , , , , | 4 Komentar
 
 

Episode 01: Gadis dari Akademi Javaka (PART 03)

Bunyi suara genta jam raksasa di tengah kota Tanjung Biru terdengar begitu jelas di seluruh bagian kota itu, bahkan hingga di pelabuhan Tanjung Biru yang letaknya cukup jauh dari jam tersebut. Bunyi dua kali dari genta besar jam tersebut merupakan penanda bahwa saat itu waktu sudah menunjukan pukul dua siang.

 

Di salah satu bagian dermaga Tanjung biru tempat berkumpulnya berbagai kapal yang menambatkan sauhnya di pulau Terrestria ini. Bunyi genta dari jam tersebut tampaknya membuat seorang gadis yang sedang duduk di bangku taman dekat kapal Feri besar yang dia naiki tadi terlihat begitu gelisah.

 

Gadis itu berambut panjang berwarna coklat chestnut. Rambut poninya sedikit di arahkan ke kanan sementara di bagian samping rambutnya seperti terbentuk pola-pola mirip ukiran. Kulit kuning langsat menunjukkan bahwa wanita merupakan keturunan ras Garthia. Gadis itu mengenakan pakaian petualang dimana gadis itu mengenakan spandex hitam dan high boots, mengenakan kain jarit bermotif Bathik ‘Parang Rusak’. Warna pakaiannya penuh dengan dominasi warna quartz pink dan warna hitam serta terdapat warna kuning di beberapa ornamen penghias pakaiannya.

 

Berkali-kali gadis itu menyingkap lengan kemeja kirinya dan melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya hanya untuk memastikan bahwa saat ini memang sudah pukul dua siang.

 

Terlihat jelas kalung yang dipakai oleh gadis itu yang berbentuk seperti sebuah prisma berwarna hijau zamrud dengan sepasang sayap biru lazuli dengan dua bola permata ruby berukuran kecil.

“Hmmmphh…. Sudah hampir satu jam aku menunggu di sini… kenapa belum ada satupun yang menjemputku ya?” keluh gadis itu sambil menatap teriknya sinar matahari dari balik sela-sela jari tangan kanannya.

 

“Masak sih informasi yang aku dapat salah? Bulik Leyra bilang kalau sesampainya aku di sini akan ada murid Akademi Terrestria yang akan menjemputku…… hmpph….” gadis itu menopangkan dagunya dengan menggunakan kedua pahanya sebagai tumpuan.

 

Sembari menunggu, gadis itu melihat suasana di sekitar tempatnya berada saat ini. Suasana dermaga Tanjung Biru saat itu sangatlah ramai. Terlihat cukup banyak orang yang berjalan dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

 

Beberapa ada yang sibuk melakukan kegiatan bongkar muat kapal, baik itu dari kapal penumpang maupun dari kapal tongkang yang membawa peti-peti kayu berukuran besar. Beberapa ada yang sibuk membantu para penumpang kapal-kapal feri dalam menurunkan barang dan membawakannya, ada juga yang sibuk melakukan kegiatan perdagangan hasil mereka melaut di lautan lepas.

 

“Hmppmmhhh… kalau begini caranya, bisa-bisa justru barang-barang paketanku yang sampai lebih dahulu di dormitory murid,” wajah gadis itu terlihat sedikit cemberut saat melihat seorang kuli barang lewat di hadapannya sambil menarik gerobak yang berisi tas-tas koper dan peti-peti besi milik orang lain.

 

Gadis setinggi 167 cm itu terus memperhatikan jalannya gerobak itu sampai gerobak itu menghilang di tengah keramaian. Di saat gerobak itu sudah tak lagi terlihat dari pandangan gadis itu, gadis itu hanya bisa menghela nafasnya sambil memandang lesu.

 

Tidak lama kemudian dari balik keramaian itu terlihat seorang anak gadis kecil yang sedang berjalan dengan riang sambil membawa balon besar sebesar dekapan orang dewasa. Gadis kecil berwajah bulat dan bermata lebar dengan rambut dikucir ponytail itu berjalan dengan wajah gembira dan sedikit melompat kecil setiap kali dia berjalan sepanjang lima langkah.

 

Gadis yang sedang menunggu penjemputnya dari Akademi Terrestria itu tersenyum sendiri melihat tingkah lucu dari gadis kecil itu. Sepertinya Gadis itu sedikit terhibur hatinya karena tingkah dari anak kecil itu.

 

“ADUHHH…!!!” seru gadis kecil itu ketika tiba-tiba saja kakinya terantuk batu dan dia pun jatuh, tangan kanannya yang membawa balon besar secara tak sengaja melepas balon miliknya dan membuat balon itu terbang ke udara.

Gadis berambut chestnut itu juga ikut terkejut saat melihat anak kecil itu tersandung batu. Dia cepat-cepat bangkit dari bangku tempatnya duduk tadi dan segera menolong gadis kecil itu.

 

“Ah… adik kecil kamu tidak apa-apa?” seru gadis berambut chestnut itu berlari menghampiri gadis kecil yang terjatuh itu dan segera menolongnya.

 

Gadis kecil itu melihat gadis yang menolongnya dengan tatapan matanya yang bundar dan bening.

“Aaa.. saya tidak apa-apa kak…” jawab gadis kecil itu, saat itu dia sepertinya menyadari sesuatu. Dia menyadari bahwa dia tidak lagi memegang balon besarnya. Gadis itu secara spontan menoleh ke kanan dan ke kiri hingga akhirnya dia menengadahkan kepalanya dan mendapati balon itu sudah berada di udara kemudian tertiup angin dan mulai bergerak masuk ke bagian dalam kota Tanjung Biru.

 

“Ba.. Balonku….!!!!! aaa….. Balonkuuu!!!!!” gadis itu mulai terisak-isak karena melihat balon kesayangannya terlepas dari tangannya.

 

Gadis cantik berambut chestnut itu kemudian menepuk lembut kepala gadis kecil yang baru saja kehilangan balonnya dan sambil tersenyum ia berkata, “Adik kecil.. jangan menangis ya… kakak akan ambilkan balonmu yang terbang itu,”.

 

Gadis berambut chestnut itu kemudian berlari mengejar balon itu. Balon itu terbang cukup tinggi karena tertiup angin dan bergerak cukup cepat memasuki kota Tanjung Biru.

 

Dengan lincahnya gadis itu berlari melewati kerumunan orang-orang sambil sesekali menatap ke atas agar tidak kehilangan balon yang sedang dikejarnya.

 

“Wah.. balon itu kok terbangnya aneh sekali…. sepertinya angin yang meniupnya nampak seperti angin yang dikendalikan seseorang…..”

“Apa cuman perasaanku saja ya?” gumam gadis itu sambil terus berlari mengejar balon itu.

 

Tidak jauh dari letak gadis berambut chestnut itu berlari, terdapat sebuah cafe berarsitektur bangunan bergaya joglo dimana saat itu ternyata Ray dan Crimson ada di cafe itu.

Crimson dan beberapa gadis terlihat masuk ke dalam ruang cafe berbentuk Joglo itu, sementara Ray menunggu di luar cafe.

 

“Hmmpphh….. kenapa sih Crimson pake acara main kartu Zeph segala… mana sampai jam dua lebih!! duh… seharusnya aku juga nggak perlu menuruti tantangan Crimson tadi…” Ray menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.

 

“Apa gadis itu masih ada di pelabuhan ya?” Ray memandang lesu ke arah cafe tersebut.

 

 

Tiba-tiba saja Ray merasa mendapatkan perasaan aneh. Suasana di sekitarnya seperti sunyi senyap,

“Ah… apa-apaan ini.. kenapa… kenapa tiba-tiba saja aku jadi merasa aneh begini?? Perasaan apa ini?”.

 

Kini suara yang bisa Ray dengar hanyalah suara degup jantungnya yang terdengar makin berdebar keras dan satu suara lagi yaitu suara derap langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang menuju ke arahnya.

 

“Ugh… suara… suara langkah siapa ini??”

Ray jadi makin kebingungan dengan apa yang dia alami saat ini.

 

“Degup jantungku berdebar keras seiring mendekatnya suara langkah itu??”

“Ah.. siapa?? Suara langkah siapa ini??”

Ray mencari-cari arah sumber suara langkah kaki yang menuju ke arahnya,

 

dan…..

 

Ray mendengar suara sesuatu terjatuh setelah menabrak Ray dari arah belakang.

Di saat yang sama, perasaan aneh Ray yang tadi memenuhi hati dan pikirannya kini telah menghilang secara misterius.

 

“Ah… aku bisa mendengar suara keramaian lagi,” gumam Ray sambil mengarahkan pandangan ke lingkungan sekitarnya.

 

“Dan jantung ini juga sudah berdetak normal…”

“Aneh, semuanya telah kembali normal setelah sesuatu menabrak diriku dari belakang,”

Ray menoleh ke arah sesuatu yang jatuh setelah menabrak dirinya.

 

Saat itu, Ray melihat seorang gadis dalam posisi duduk seperti baru saja terjatuh karena menabrak sesuatu. Tidak salah lagi, pasti yang menabrak Ray tadi adalah gadis berambut panjang itu. Sesaat wajah Ray sempat terlihat kemerah-merahan saat menyadari bahwa yang baru saja menabrak punggungnya adalah bagian dada dari gadis itu.

Ray mendekati gadis itu dan mengulurkan tangan kanannya kepada gadis itu, “Ah.. Nona, kau tidak apa-apa? Maaf aku sudah membuatmu terjatuh,”.

 

Gadis itu bangkit dari posisi duduknya dan berdiri dengan kedua kakinya tanpa mempedulikan uluran tangan dari Ray, dan hal itu membuat Ray jadi merasa serba salah,

 

“Eh..  apa gadis ini marah ya padaku??” gumam Ray.

 

Gadis itu menegakkan wajahnya dan menatap Ray begitu juga dengan Ray yang menatap mata gadis itu. Saat itu Ray benar-benar shock saat dia melihat gadis itu.

 

Gadis itu adalah gadis berambut chestnut dan memiliki bentuk kalung yang sama dengan gadis yang sering menghantui mimpi-mimpi Ray akhir-akhir ini.

 

“Pe… penampilan gadis ini… wajahnya… dan kalungnya…. semuanya begitu mirip dengan gadis yang ada dalam setiap mimpiku akhir-akhir ini!!”

“A… apakah gadis ini adalah gadis yang sama?? Tapi… ah tidak mungkin… !!“

Ray sibuk dengan pikirannya sendiri sambil menatap kosong ke arah bawah.

 

Sementara itu, sang gadis menatap Ray sambil berkata, “Ah… maaf.. saya tidak melihat anda saat sedang mengejar balon…. err… anda tidak apa-apa kan?”.

 

Melihat Ray yang cuma terdiam sambil menatap tanah tanpa memperdulikan ucapannya , membuat gadis itu merasa serba salah, “Apa.. orang ini marah ya karena aku tabrak tadi…?”.

 

Gadis itu sebenarnya ingin mengajak bicara Ray, namun pada saat itu dia melihat yang di kejarnya sekarang terbang makin menjauh, dan jika tidak dikejar maka dia tidak akan mendapatkan balon itu.

“Ah…. balon… balon…!!!” gadis itu segera meninggalkan Ray yang masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri.

 

Gadis itu berlari mengejar balon itu yang kini bergerak menuju ke area menara jam besar yang ada di tengah kota Tanjung Biru.

Balon itu terbang ditiup angin hingga mendekati puncak dari Menara Jam Besar dan akhirnya tertahan oleh bagian bawah dari atap puncak jam besar tersebut.

 

Melihat Balon itu sudah tidak bisa bergerak kemana-mana, gadis itu kemudian merapal mantra sihir dengan mendekatkan telapak tangan kanannya ke mulutnya,

“Mantra Tirta….. TANGGA KACA !!!”.

 

Sembari mengucapkan mantra itu, telapak tangan kanannya diarahkan ke arah jam besar itu.

Dalam sekejap dari pagar pembatas antara menara jam besar itu dengan jalanan hingga di atap puncak menara jam besar itu terbentuk plat-plat tembus pandang terbuat dari air yang membentuk pola mirip sebuah tangga.

 

Gadis itu berlari menaiki tangga sihir yang sudah dia buat sebelumnya dan akhirnya tiba di puncak Jam itu dimana balon yang dia kejar masih tertahan di bagian bawah dari atap puncak menara jam besar itu.

 

Saat tinggal selangkah lagi gadis itu hampir meraih balon itu, tiba-tiba saja angin bertiup lagi menerbangkan balon itu hingga terlepas dari tempatnya terjebak saat itu.

Tidak ingin balon yang dia kejar lolos lagi dari kejarannya. Gadis itu segera melompat dengan tangan kanannya berusaha meraih tali dari balon itu.

 

“DAPAT!!” seru gadis itu sambil menggenggam erat tali balon itu dengan kanannya.

 

“Mantra Vayu…. SELENDANG ANGIN !!!!”.

Sesaat setelah gadis itu mendapatkan balon itu, dia langsung mengeluarkan mantra lainnya.  Dalam sekejap muncul sekumpulan angin menyelimuti tubuh gadis itu dan mengalir lembut mengelilingi gadis itu. Rambut panjangnya terurai ditiup angin dan kain jarit yang dipakai gadis itu berkibar dengan lembut laksana seorang dewi turun dari langit. Gadis itu berhasil mendarat dengan pelan dan anggun sambil memegang balon di tangan kanannya.

 

Melihat keterampilan sihir gadis itu, orang-orang di sekitar lokasi kejadian jadi bertepuk tangan dan berdecak kagum.

 

“Wow… Keren!!!…”.

 

“Luar biasa!!…”.

 

Gadis itu agak terkejut melihat sorakan orang-orang di sekitarnya,

“Ah.. iya.. terima kasih..” gadis itu tersenyum canggung dan mukanya agak memerah.

 

Gadis itu kemudian buru-buru pergi meninggalkan para penduduk yang terus saja menyoraki dan memuji gadis itu.

 

“Apakah ini kebetulan??”

“Tapi.. bagaimana dengan perasaan aneh yang aku rasakan tadi?? Aku merasa seperti ada sebuah sihir yang membuatku hanya bisa mendengarkan suara langkahnya dan suara jantungku sendiri,” Ray terus berkutat dengan pikirannya sendiri.

 

Sesaat kemudian Ray mendengar gadis itu mengucapkan kata-kata aneh, “Eh.. balon?? Apa maksudnya??”.

 

Ray menegakkan kepalanya dan melihat kembali ke depan.

 

“Eh… mana gadis itu??” Ray menoleh ke arah samping kanan dan kirinya, namun sayang dia tak menemukan gadis itu.

 

“Aduh.. gawat.. pasti gadis itu marah karena kejadian tadi,” Ray mengernyitkan dahinya sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.

 

“Pertemuan yang singkat dan nggak mengesankan nih… apakah ini arti mimpi yang aku alami selama akhir-akhir ini ya?” gumam Ray sambil menatap ke arah langit biru.

 

Ray terdiam selama beberapa saat lamanya.

 

“RAY… HOYY…. RAYYY!!!!” Ray terkejut saat seseorang memanggil namanya.

Dia menoleh ke arah sumber panggilan itu. Ternyata yang memanggilnya adalah Crimson yang sedang berada di teras cafe berbentuk joglo itu.

 

“Ray… ayo cepet masuk ke dalam, aku butuh bantuanmu nih!!” Crimson menggerakkan tangan kirinya memberi sinyal agar Ray segera mengikutinya masuk ke dalam cafe.

 

Ray masuk ke dalam cafe dan melihat Crimson bersama dua siswi akademi Terrestria sedang berada di depan kasir.

 

Lima menit setelah Ray masuk ke dalam cafe. Gadis berambut chestnut yang telah berhasil mendapatkan balon yang dia kejar, berjalan lewat di depan cafe itu.

 

“Eh… murid akademi yang tadi aku tabrak kemana ya?” gumam gadis itu.

 

“Hm… kira-kira, apa dia ya, orang yang harusnya menjemputku di dermaga?? Kalo itu benar berarti dia pasti sudah ada di dermaga sekarang,”

“Baiklah, aku sebaiknya aku cepat kembali ke dermaga sekalian mengembalikan balon ini kepada adik kecil di sana,”

gadis itu sempat melirik ke arah cafe karena mendengar suara ribut dari arah dalam. Namun dia tidak punya keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut, gadis itu lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya kembali ke dermaga Tanjung Biru.

 

Sebenarnya suara ribut yang didengar oleh gadis itu dari arah dalam cafe itu tidak lain adalah suara perdebatan Ray dan Crimson.

 

“APA?? Kau yang makan kenapa aku yang harus bayar?? Lagipula, aku kan nggak makan di Cafe ini.” Ray jadi sewot mendengar permintaan Crimson.

 

“Kumohon Ray… bantu aku kali ini saja… aku lagi gak bawa uang banyak nih!!”

“Kau mau waktu kita terbuang untuk mencuci piring cafe ini dan nggak bisa menemukan gadis yang harus kita jemput?” bujuk Crimson.

 

“Eh?? Kamu saja mungkin yang harus cuci piringnya.. jangan libatkan aku, aku harus mencari gadis itu. Sudah hampir satu jam dari waktu yang seharusnya!!” Ray beranjak pergi meninggalkan Crimson yang terlihat kebingungan.

 

“Apakah kau tahu seperti apa wajah gadis itu? Dan apa kau tahu nama dari gadis yang harus kita cari?” pertanyaan Crimson itu membuat Ray menghentikan langkahnya dan menyadari kecerobohannya.

 

“Aduh sial!! Kenapa aku tadi tidak menunggu penjelasan lengkap dari Ibu Reva ya…? Ugh.. kenapa aku harus terburu-buru seperti ini??” umpat Ray dalam hatinya. Ray kemudian menoleh ke arah Crimson dengan tatapan lesu.

 

“HAHAHAHHAHAHAHAHA….!!! Sudah kuduga, kecerobohanmu memang selalu bisa mengalahkan dirimu sendiri Ray” gelak tawa Crimson benar-benar membuat Ray semakin merasa sebal terutama dengan dirinya sendiri. Yang bisa Ray lakukan hanyalah menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.

 

“Sudahlah menyerah saja… bantu aku membayar tagihannya dong…” pinta Crimson.

 

“Okay… berapa sih tagihannya?” Ray menghampiri Crimson sambil mengeluarkan Cash Card dan Transfer Plate dari Tactical Pocketnya. Dengan ogah-ogahan Ray kemudian memasang cash card ke dalam slot transfer platenya, sementara Crimson menyerahkan bon tagihannya.

 

Ray menerima bon tagihan tersebut dan melihatnya dengan seksama.

 

“HAH!!!! 1600 POUCHTERLINK!!!!??????”

“Ke…. kenapa bisa sebanyak ini!!!???”

Ray membelalakkan matanya seakan tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini.

 

“HAHAHAHAHAA…. gara-gara Rena dan Cleo tuh makannya banyak banget,” Crimson mengarahkan telunjuk tangan kanan dan kirinya mengarah ke dua siswi akademi yang masing-masing berada di samping kiri dan kanan Crimson.

 

“EH!!?? Enak saja…hahaha..  Crimson bohong Ray.. Kami gak pesan banyak makanan kok!!” ujar gadis bernama Rena, gadis bermata sipit dengan rambut panjang sedikit berombak.

 

“Iya  Ray, Crimsey sayang ini yang banyak mesen porsi makanannya,” sahut gadis bernama Cleo, gadis bermata agak lebar dengan rambut panjang yang lurus seperti habis di rebounding.

 

“Iya deh, aku ngaku, aku yang pesan porsi makanannya tiga kali lebih banyak dari biasanya,”

“Tapi kalian berdua meskipun gak pesan banyak makanan, makanan yang kalian pesan itu masuk makanan mahal lho. Jadi sepertinya kalianlah penyumbang terbesar dari mahalnya makanan yang harus dibayar Ray” jawab Crimson sambil terkekeh.

 

“Iiihh… Crimseyyyy!!!” kedua gadis itu secara spontan mencubit kecil pipi Crimson.

 

“Adududuh… HAHAHAHAHAHA!!” Crimson tertawa senang sambil memegangi kedua pipinya yang baru saja dicubit oleh Cleo dan Rena, sementara Ray hanya bisa terdiam dengan tatapan sebal.

 

“Hmphh.. ya sudahlah…. cepat dikembalikan nih uang… soalnya mau aku pakai buat beli CD limited edition single Dreamchasernya HEARTMARY. Kalau sampai terlambat order maka aku gak akan dapat CD limited itu.” Ray mengeset angka 1600 pada Transfer platenya dan menyerahkan pada Crimson.

 

“TERIMA KASIH RAY… kau memang sahabat yang bisa aku andalkan setiap saat.” Crimson tersenyum lebar sambil menggerak-gerakkan transfer plate milik Ray yang kini sedang dipegangnya.

 

“Sial….” gerutu Ray dengan suara sangat pelan. Ray berdiri sambil berkecak pinggang dengan wajah cemberut.

“Baiklah nona penjaga kasir, silahkan,” Crimson menyerahkan transfer plate Ray dengan gaya ‘COOL’ nya, gadis penjaga kasir itu sempat terlihat tersipu malu saat menerima transfer plate tersesbut. Gadis penjaga kasir itu menscan transfer plate tersebut ke mesin kasir.

“Terima kasih sudah berkunjung di Cafe ini,” gadis penjaga kasir itu menyerahkan kembali transfer plate tersebut kepada Crimson.

 

“Sama-sama” jawab Crimson dengan gayanya yang ‘cool’ dan sekali lagi berhasil membuat gadis penjaga kasir itu jadi tersipu malu. Sesaat setelah menerima transfer plate itu, Crimson melihat ke arah Ray yang rupanya sedang dihibur oleh Rena dan Cleo karena merasa sebal uangnya terpakai untuk membayar tagihan makan Crimson, Rena dan Cleo.

 

 

Di dermaga tanjung biru, gadis berambut chestnut itu menghampiri gadis kecil yang kehilangan balonnya,

“Adik kecil, ini balonnya,” ujar gadis itu sembari duduk jongkok agar bisa sejajar dengan tinggi gadis kecil itu.

“Terima Kasih.. Kak… err… nama kakak siapa?” gadis kecil imut itu terlihat senang sekali mendapatkan kembali balon kesayangannya. Gadis kecil itu sepertinya penasaran dengan nama gadis berambut chestnut yang telah mengembalikan balon miliknya.

 

“Desy…. nama kakak, Desy Devaheart.. Panggil saja Kak Desy… hehehehe” jawab gadis bernama DESY DEVAHEART itu sembari tersenyum manis memandang gadis kecil itu.

 

“Nama kamu siapa adik kecil?” Desy balik bertanya pada gadis itu.

 

“Afika..” jawab gadis kecil itu dengan imutnya.

 

“Oh iya, adik Afika apa tidak melihat satu atau dua orang berpakaian seragam Akademi Terrestria mencari-cari kakak?” tanya Desy kepada Afika.

 

“Nggak tuh Kak.. tidak ada satu pun murid Akademi di sekitar dermaga sini. Apalagi yang mencari kakak,” jawab Afika sambil memandang Desy dengan matanya yang innocent.

 

“Oh… begitu ya… hm…” sahut Desy sambil memegangi ujung dagunya.

 

“Kenapa kak? Apa kakak menunggu mereka ya?” tanya Afika dengan nada cemas.

 

“Iya nih, sepertinya kakak harus menunggu lebih lama lagi di sini,” jawab Desy sambil tersenyum kecil.

 

“Kalau begitu, saya pergi dulu ya, kak Desy,” Afika berpamitan kepada Desy.

Desy menepuk lembut kepala Afika dengan telapak tangan kanannya sambil berkata,

“Afika sayang.. lain kali kalo jalan hati-hati ya.. jangan tersandung lagi seperti tadi hehe.”

 

“Iya kak.. terima kasih Kak Desy,” jawab Afika dengan riangnya.

Afika kemudian berjalan pergi meninggalkan Desy setelah melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal dan dibalas oleh lambaian tangan juga oleh Desy.

 

Afika berjalan dengan riang sambil sesekali melompat meninggalkan Desy dan menghilang di tengah kerumunan. Melihat Anak kecil itu sudah menghilang dari pandangannya, Desy kemudian berdiri dari posisi duduk jongkoknya.

 

Desy berkecak pinggang sambil melihat ke arah kanan dan kiri berharap ada murid akademi yang datang menjemputnya, tapi sepertinya harapannya sia-sia saja.

 

Desy cuma bisa menghela nafas karena tidak ada siapapun yang menjemputnya,

“Berarti murid yang aku tabrak tadi bukan orang yang akan menjemputku di dermaga ini ya?”.

 

“Desy?? Kau masih di sini??” tanya seseorang dari arah belakang.

 

Desy menoleh ke arah sumber suara itu kemudian dia bangkit dari posisi duduk jongkoknya sambil berkata, “Ah.. Tuan Blaze… Anda juga masih di sini?”

 

Terlihat seorang Pria tampan setinggi 177 cm itu tampaknya masih berusia sekitar awal 30 tahunan. Rambutnya pendek berwarna merah. Kulitnya agak kecoklatan, beralis tebal, rambut dan bola mata berwarna merah layaknya warna api dan memiliki rahang kokoh.

Pria itu mengenakan sweater turtle neck berlengan pendek berwarna hitam dengan bawahan celana panjang berwarna merah dengan banyak kantong, sementara kakinya mengenakan sepatu boot berwarna hitam dengan variasi garis-garis kuning di beberapa bagian. Terlihat di kedua tangannya, pria itu mengenakan sarung tangan hitam dengan lambang Akademi Terrestria di bagian punggung sarung tangan tersebut.

“Aku hanya penasaran saja apakah kau sudah dijemput apa belum makanya aku ke sini setelah urusanku selesai,”

“Dan rupanya yang menjemputmu masih belum tiba di sini?” tanya Tuan Blaze.

 

“Iya nih, saya jadi bingung,” jawab Desy sambil terus memegang ujung dagunya dengan tangan kanannya. Sementara tangan lengan kirinya bertolak pinggang.

 

“Hm.. pasti ada yang salah. Okay, aku tanya pihak akademi dulu kalau begitu,”  sahut Tuan Blaze sambil mengeluarkan cellphone dari saku kanan celananya.

 

“Halo?? Ibu Reva??”.

“Aku bertemu dengan murid pindahan dari Javaka bernama Desy Devaheart di dermaga. Dia bilang seharusnya ada yang menjemputnya hingga sampai ke Akademi,”.

 

“……………………………..”

 

“Oh ya benar sekali, aku kebetulan bertemu gadis ini karena dia dan aku satu kapal saat sedang dalam perjalanan ke pulau ini,”.

 

“……………………………..”

 

“Apa..? Kau menyuruh Ray dan Crimson untuk menjemput Desy?”

“Hmm.. sekarang aku tahu kenapa gadis ini sampai menunggu lebih dari satu jam di dermaga ini. Pasti kedua anak itu sedang sibuk bermain-main lagi,”.

 

“………………………………”

 

“HAHAHAHAHAA… jangan galak-galak gitu dong Bu, kasihan juga kan kalau kedua anak itu kena hukuman terus,”

“Begini saja, biar aku saja yang mengantar Desy ke Akademi dan menemui pak Kepala Sekolah Grade S. Sementara anda hubungi Crimson dan Ray agar tidak perlu datang ke dermaga,”.

 

“………………………………”

 

“Okay….”

“HAHAHAHAHA…….. “

“Sudah ah.. jangan samakan aku dengan Crimson yang lelet itu, masak aku juga kena marah sama anda.. aku serahkan laporan misinya segera setelah aku sampai di akademi kok,”

“Okay… sampai nanti,” Tuan Blaze menutup cellphonenya dan kembali menyimpannya di saku celananya.

 

“Okay Desy, Aku akan mengantarmu ke akademi. Dari sini kita langsung ke stasiun MRT di dekat gerbang masuk kota ini,”

“Mari…” ajak Tuan Blaze.

 

Desy dan Tuan Blaze pun berjalan meninggalkan dermaga.

 

 

Kembali ke pihak Ray dan Crimson yang masih ada di cafe itu, Rena dan Cleo sudah tidak terlihat di cafe itu. Tampaknya kedua gadis itu sudah pergi cukup lama meninggalkan Ray yang masih saja berdebat tidak jelas.

 

“Doh… segitu sedihnya dipinjam uang 1600 potchterlinknya,” seloroh Crimson melihat Ray yang masih saja memasang tampang sebal pada Crimson.

 

“Cari uang itu susah tahu.. apalagi itu uang yang aku dapatkan hasil dari penjualan komik indieku di comicon kemarin yang sudah aku simpan baik-baik untuk membeli CD limited HEARTMARY,” jawab Ray

 

“Sudah dibilangin, entar aku pasti kembalikan… masak gak percaya sih?” jawab Crimson dengan nada tinggi.

 

“Yeah, dan saat kamu sudah bisa mengembalikannya, aku sudah kehilangan kesempatan ngedapetin CD Limited dengan Ticket konser HEARTMARY yang ada di dalam CD case itu…. grrr…” lagi-lagi Ray terlihat sewot.

 

“Ini ceritanya mau berdebat soal uang untuk beli CD Single HEARTMARY atau mau nyari cewek itu sih?” tanya Crimson mencoba mengalihkan keluhan Ray.

 

“Hmph.. ya sudahlah soal uang CD ini nanti saja. Sekarang kira-kira seperti apa sih wajah dari gadis yang kita cari itu?” tanya Ray.

 

“Lah.. kamu tadi mendengarkan penjelasan dari Ibu Reva kan?”

“ibu Reva tadi bilang apa?” Crimson bertanya balik pada Ray yang justru terkejut dan mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh Ibu Reva padanya.

 

“Ibu Reva bilang, kalau dia ingin menugaskan kita untuk menjemput seorang siswi baru yang berasal dari Akademi Javaka yang pindah sekolah ke akademi ini untuk menuntaskan studinya sebagai Gun Sorceress,”

“Dia akan tiba di pulau Terrestria ini dengan kapal feri sekitar jam satu siang,”

“Ciri-ciri gadis itu yaitu berkulit kuning langsat, rambutnya panjang berwarna coklat chestnut, tinggi badannya sekitar 167 cm……..” Ray terdiam sebentar.

 

“Dan setelah itu aku gak tahu lanjutannya karena aku buru-buru pergi untuk menyusulmu hahahahaha!!” Ray tertawa mencoba menutupi kecerobohannya.

 

“Dasar… informasi belum lengkap udah buru-buru pergi,” Crimson mengeluarkan sebuah foto dari balik jaketnya.

“Lihat nih, ini cewek yang kita cari.. namanya Desy Devaheart…..” Crimson menunjukkan foto itu pada Ray.

Ray melihat foto itu begitu juga dengan Crimson, mereka melihat foto itu dengan penuh konsentrasi seakan-akan terhipnotis akan foto itu. Mereka berdua sibuk oleh pikirannya sendiri.

 

Dalam pikiran Ray, dia berpikir, “Wajah gadis ini, bukannya mirip dengan gadis yang menabrak aku tadi ya? Apa memang benar dia orangnya?”

“Kalau begitu, arti mimpi yang aku alami selama ini apakah itu berarti aku akan satu akademi dengan gadis ini ya?”

 

sedangkan Crimson sendiri dalam pikirannya, “Wah… belum pernah aku melihat gadis semanis ini, matanya juga keren banget….. Hehehe sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan foto pertama nih…… hmmm.. apa dia sudah punya pacar ya?”.

 

Sementara Ray dan Crimson yang sibuk melihat foto itu, tanpa mereka sadari Tuan Blaze dan Desy sudah berjalan melewati cafe tempat Ray dan Crimson berada.

 

Hampir satu menit lamanya dua orang ini mengamati wajah Desy Devaheart di dalam foto itu.

 

“Ehmm… Mata cewek ini keren sekali ya Ray…” tanya Crimson setelah tersadar dari lamunannya.

“Eh.. i.. iya…. aku setuju… cewek ini keren banget…” sahut Ray dengan nada lirih.

 

“Haizz.. kok malah ngeliatin foto ini, ayo cepat kita cari gadis ini, Ray!!” Crimson buru-buru meninggalkan Ray.

 

Crimson keluar dari cafe tersebut dan berlari ke arah dermaga. Sementara itu Ray berlari mengejar Crimson.

 

Crimson berlari sangat cepat namun Ray berhasil menyusulnya saat hampir mencapai gerbang dermaga, “CRIMSON,  TUNGGU SEBENTAR…!!”

 

“Ada Apa Ray??” Crimson menghentikan larinya dan menatap Ray dengan wajah heran.

 

“Tunggu dulu Che!! Aku rasa aku sudah bertemu dengannya tadi,” Ray berusaha mencegah Crimson masuk ke dermaga.

 

“HAH?? Yang Benar??”

“Kenapa gak bilang dari tadi??” Crimson terlihat agak kesal karena ternyata Ray berhasil bertemu dengan Desy terlebih dulu.

 

“Eh.. gimana ya.. saat itu kan aku belum tahu siapa dia,” jawab Ray sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.

 

“Terus, dia pergi kemana saat bertemu denganmu?” tanya Crimson.

 

“Nah.. itu yang aku gak tahu, saat itu aku juga terpesona dengan kecantikannya jadi gak sadar kalau dia sudah pergi meninggalkan aku,” jawab Ray dengan ekspresi tak bersalah.

 

“Waduh.. jangan-jangan, gadis itu pergi sendirian dan sekarang sudah sampai di akademi dan bertemu dengan Ibu Reva!” Crimson langsung mengambil kesimpulan singkat.

 

“Eh, tapi seandainya gadis itu sudah sampai di akademi dan menemui Ibu Reva pasti Ibu Reva akan menghubungi kita kan?” tanya Ray kepada Crimson.

 

“Waduh… Ray.. cellphone aku kehabisan energi.. belum aku charge dari kemarin. Pastinya Ibu Reva tidak akan bisa menghubungi nomorku” jawab Crimson sambil sedikit menjulurkan lidahnya.

 

“KAMU CEROBOH BANGET YA CRIMSON!!” Ray berkecak pinggang sambil mendengus kesal.

 

“Lha.. memang nggak ada panggilan apa-apa dari Ibu Reva di cellphonemu?” Crimson bertanya balik kepada Ray.

 

“eh… anu….. itu…. aku lupa membawanya.. ketinggalan di kamar dormitory aku,” jawab Ray dengan wajah grogi.

 

“KAMU SANGAT CEROBOH YA RAY WARFIELD!!” Crimson berkecak pinggang menirukan gaya Ray yang memarahi dia tadi.

 

“Eeeaa… hahahaa, kalau begini caranya berarti namanya hattrick, sudah tiga kali kita membuat Ibu Reva kesal dalam sehari ini,” Ray menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal sambil tertawa canggung.

 

“Satu kali lagi kita bikin kesal maka kita akan dapat hadiah piring cantik dan tea set mahal dari Ibu Reva, lho,” sahut Crimson sekenanya.

 

“Eh?? Apa??” Ray melongo bingung.

“Jangan bercanda dong Che….” Ray langsung mengernyitkan dahi saat menyadari perkataan Crimson, sementara Crimson sendiri cuma tersenyum kecut.

 

“Kalau gitu, ayo kita kembali secepatnya ke akademi. Kalau beruntung kita mungkin masih bisa bertemu gadis itu di tengah perjalanan dan kita nggak akan dapat hukuman dari Ibu Reva atas kecerobohan kita,” Crimson berbalik arah dan disusul pula oleh Ray.

Categories: Main Mission | Tag: , , , , | 2 Komentar

Blog di WordPress.com.